“ACHOOOO, HUJAN… NANTI KO CAKI!”
Dia tak bergeming sedikit pun, ketika Caca panggilan akrab Si ‘bocah’ kecil umur dua tahunan teriak lantang memanggil Aco yang sedari tadi mondar mandir di emperan toko meubel di jalan poros, wajahnya kusut hitam lebam, dengan pakaian kumal, tidak tahu apa yang dicarinya dengan mata sesekali jelalatan. Suara bising hujan yang menerpa atap rumah membuat dia tak begitu peduli dengan siapa pun yang menyapanya, padahal Caca adalah teman akrab di kala senja. Hujan pun semakin deras, seakan tak hendak redah yang bukan tak sering membuat orang-orang yang ada di bantaran sungai mengalami trauma, takut akan ada banjir bandang.
“Acooo…!” sesekali Caca memanggil nama itu, meski ia tak melihat wujud pemilik nama itu, Caca pun dengan mata mencari-cari nampak tetap girang ketika menyebut nama Aco. Mungkin naluri bocah ini sudah begitu akrab dengan segala yang melekat di tubuh ‘Si Kumal’ itu, sehingga dia merasa setiap sapaannya terdengar oleh Aco.
Aco, entah dari mana makhluk ini berada?, bukankah Aco ini yang lahir dibantaran sungai persis di bagian hulu yang dihimpit gunung-gunung sepi, jangan-jangan Aco ini yang kemarin mendayung sampan meninggalkan muara menuju samudera, sejumlah pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut banyak orang, malah ada yang merisaukan keberadaan Aco yang begitu misterius, bukankah dia salah satu dari sekian Aco yang terhempas dari komunitasnya.
Pernah terdengar di suatu kota yang melaksanakan Pemilu Kepala Daerah atau Pilkada, salah satu dari sekian kandidatnya bernama Aco yang merupakan panggilan akrabnya dan membentuk komunitas yang diberi nama ‘Aco Community’, orang-orang yang bernama Aco mendeklarasikan diri sebagai bagian yang ikut memfasilitasi kepentingan ‘Si Aco’ yang ingin jadi Walikota pada waktu itu. Namun Aco-Aco yang ada dalam ‘Aco Community’ kembali beritegrasi ke keseharian mereka, setelah Sang Jagoannya meraih kemenangan . Mungkinkah ‘Si Aco’ ini meminggirkan diri dari kebisingan elitis para kaum hedon setelah meraih kemenangan. Ah mungkin itu hanya anggapan kamu saja, anggapan dia saja, atau anggapan saya saja, mungkin. Hal itu bergejolak dalam benak banyak orang, apakah penting Aco dari mana?, penting!, ah mungkin tidak penting, Aco bukan siapa-siapa dan Aco tidak berbuat apa-apa.
Caca kembali berlari-lari, ia tak tahu dan ia tak mau tahu Aco dari mana dan mau kemana?, memanggil Aco melengkapi kesehariannya dalam bermain, biarlah Aco sebagai teman saja , cukup membalas sapaannya membuat ia girang dengan teriakan berkali-kali, ketika Caca dengan beberapa temannya memanggil-manggil “Aco….Aco… Aco…”, teriakannya bagaikan supporter memberi semangat kepada jagoannya dalam sebuah pertarungan, padahal Caca dan teman-temannya hanya butuh respon sebagai bentuk permainan, terkadang Aco pun memainkan senyum, mengerdipkan mata, menepuk-nepukkan tangan memberi tanda kalau dia tahu apa yang diinginkan bocah-bocah itu.
Malam beranjak menjauh, lelah menanti hujan, sesaat kemudian rinai redah setelah mengguyur persada, Caca bergabung dengan Bunda menuju ke kediaman, beberapa pengguna jalan baru saja melintas setelah beberapa saat bernaung di tempat teduh. Sesaat terlihat ramai, para pengendara motor berkeliaran, entah mereka baru mau beraktifitas, ataukah mereka hendak mengakhiri kegiatannya. Aco tetap saja ber-Tawaf di seputaran pertokoan, sesekali ia berhenti dan mengurai barang-barang bawaannya, menghampar tikar di emperan toko, menyelipkan sejumlah uang kertas kedalam sakunya.
Aco tak lagi mendengar teriakan bocah-bocah lucu itu, suasana sedikit sepi, pemilik-pemilik toko merapatkan pintu-pintu tokonya, istirahat adalah ucapan yang paling pas untuk menanti esok hari. Para pencari hiburan malam sesekali melintas. Aco menepi di emperan toko, tertidur di atas hamparan tikar beralas tembok, mendengkur ditiup angin malam, tanpa dinding tanpa autan.
Pagi benar Aco terjaga dari tidurnya, sakit yang dikhawatirkan oleh Caca si bocah mungil itu tak menghinggapi tubuhnya, dia tetap tegar menghadapi hari ke depan, menjalani pergulatan hidup dengan mengais belas kasih dari siapa saja. Hujan, angin, terik mentari menyatu dengan tubuhnya. Pagi berganti siang, siang berganti senja, hari pun bersalin malam, berulang menggamit lengan kehidupan si Aco yang tanpa embel-embel walikota, tanpa predikat si cakep, yang tak memikirkan harta, tak tertarik dengan jabatan, tak mengenal politik, bahkan iapun tak mengerti asal-usulnya, Ach Aco… moga kamu tetap sehat.Amin!
Dari saya : Amran Anas
(yang diwaktu kecil di panggil ACO juga)
cerita ttg "aco" ini menarik juga ya...jagan2 ini kisah pribadi ya.. mantap n ma'nyoosss..lanjutkan perjuangan bro..
BalasHapusgw..setuju bgt 1000% dgn tagline' "kenapa mesti jauh..." cuma gw kurang setuju dgn adanya foto disitu..ini bisa diasumsikan bhw kata tsb ditujukan pada foto itu yg notabene adalah penulisnya sendiri..maaf ya kawan gw suka dg blog ini jadi gw saran deh...Maju terus kawan...
BalasHapushmm...ingat si Budi kecilnya bang Iwan yang kuyup menggigil, menahan dingin tanpa jas hujan....hehehe
BalasHapus