Jumat, 08 Mei 2009

Catatan tengah malam

“ACHOOOO, HUJAN… NANTI KO CAKI!”

Dia tak bergeming sedikit pun, ketika Caca panggilan akrab Si ‘bocah’ kecil umur dua tahunan teriak lantang memanggil Aco yang sedari tadi mondar mandir di emperan toko meubel di jalan poros, wajahnya kusut hitam lebam, dengan pakaian kumal, tidak tahu apa yang dicarinya dengan mata sesekali jelalatan. Suara bising hujan yang menerpa atap rumah membuat dia tak begitu peduli dengan siapa pun yang menyapanya, padahal Caca adalah teman akrab di kala senja. Hujan pun semakin deras, seakan tak hendak redah yang bukan tak sering membuat orang-orang yang ada di bantaran sungai mengalami trauma, takut akan ada banjir bandang.

“Acooo…!” sesekali Caca memanggil nama itu, meski ia tak melihat wujud pemilik nama itu, Caca pun dengan mata mencari-cari nampak tetap girang ketika menyebut nama Aco. Mungkin naluri bocah ini sudah begitu akrab dengan segala yang melekat di tubuh ‘Si Kumal’ itu, sehingga dia merasa setiap sapaannya terdengar oleh Aco.

Aco, entah dari mana makhluk ini berada?, bukankah Aco ini yang lahir dibantaran sungai persis di bagian hulu yang dihimpit gunung-gunung sepi, jangan-jangan Aco ini yang kemarin mendayung sampan meninggalkan muara menuju samudera, sejumlah pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut banyak orang, malah ada yang merisaukan keberadaan Aco yang begitu misterius, bukankah dia salah satu dari sekian Aco yang terhempas dari komunitasnya.

Pernah terdengar di suatu kota yang melaksanakan Pemilu Kepala Daerah atau Pilkada, salah satu dari sekian kandidatnya bernama Aco yang merupakan panggilan akrabnya dan membentuk komunitas yang diberi nama ‘Aco Community’, orang-orang yang bernama Aco mendeklarasikan diri sebagai bagian yang ikut memfasilitasi kepentingan ‘Si Aco’ yang ingin jadi Walikota pada waktu itu. Namun Aco-Aco yang ada dalam ‘Aco Community’ kembali beritegrasi ke keseharian mereka, setelah Sang Jagoannya meraih kemenangan . Mungkinkah ‘Si Aco’ ini meminggirkan diri dari kebisingan elitis para kaum hedon setelah meraih kemenangan. Ah mungkin itu hanya anggapan kamu saja, anggapan dia saja, atau anggapan saya saja, mungkin. Hal itu bergejolak dalam benak banyak orang, apakah penting Aco dari mana?, penting!, ah mungkin tidak penting, Aco bukan siapa-siapa dan Aco tidak berbuat apa-apa.

Caca kembali berlari-lari, ia tak tahu dan ia tak mau tahu Aco dari mana dan mau kemana?, memanggil Aco melengkapi kesehariannya dalam bermain, biarlah Aco sebagai teman saja , cukup membalas sapaannya membuat ia girang dengan teriakan berkali-kali, ketika Caca dengan beberapa temannya memanggil-manggil “Aco….Aco… Aco…”, teriakannya bagaikan supporter memberi semangat kepada jagoannya dalam sebuah pertarungan, padahal Caca dan teman-temannya hanya butuh respon sebagai bentuk permainan, terkadang Aco pun memainkan senyum, mengerdipkan mata, menepuk-nepukkan tangan memberi tanda kalau dia tahu apa yang diinginkan bocah-bocah itu.

Malam beranjak menjauh, lelah menanti hujan, sesaat kemudian rinai redah setelah mengguyur persada, Caca bergabung dengan Bunda menuju ke kediaman, beberapa pengguna jalan baru saja melintas setelah beberapa saat bernaung di tempat teduh. Sesaat terlihat ramai, para pengendara motor berkeliaran, entah mereka baru mau beraktifitas, ataukah mereka hendak mengakhiri kegiatannya. Aco tetap saja ber-Tawaf di seputaran pertokoan, sesekali ia berhenti dan mengurai barang-barang bawaannya, menghampar tikar di emperan toko, menyelipkan sejumlah uang kertas kedalam sakunya.

Aco tak lagi mendengar teriakan bocah-bocah lucu itu, suasana sedikit sepi, pemilik-pemilik toko merapatkan pintu-pintu tokonya, istirahat adalah ucapan yang paling pas untuk menanti esok hari. Para pencari hiburan malam sesekali melintas. Aco menepi di emperan toko, tertidur di atas hamparan tikar beralas tembok, mendengkur ditiup angin malam, tanpa dinding tanpa autan.

Pagi benar Aco terjaga dari tidurnya, sakit yang dikhawatirkan oleh Caca si bocah mungil itu tak menghinggapi tubuhnya, dia tetap tegar menghadapi hari ke depan, menjalani pergulatan hidup dengan mengais belas kasih dari siapa saja. Hujan, angin, terik mentari menyatu dengan tubuhnya. Pagi berganti siang, siang berganti senja, hari pun bersalin malam, berulang menggamit lengan kehidupan si Aco yang tanpa embel-embel walikota, tanpa predikat si cakep, yang tak memikirkan harta, tak tertarik dengan jabatan, tak mengenal politik, bahkan iapun tak mengerti asal-usulnya, Ach Aco… moga kamu tetap sehat.Amin!

Dari saya : Amran Anas

(yang diwaktu kecil di panggil ACO juga)

3 komentar:

  1. cerita ttg "aco" ini menarik juga ya...jagan2 ini kisah pribadi ya.. mantap n ma'nyoosss..lanjutkan perjuangan bro..

    BalasHapus
  2. gw..setuju bgt 1000% dgn tagline' "kenapa mesti jauh..." cuma gw kurang setuju dgn adanya foto disitu..ini bisa diasumsikan bhw kata tsb ditujukan pada foto itu yg notabene adalah penulisnya sendiri..maaf ya kawan gw suka dg blog ini jadi gw saran deh...Maju terus kawan...

    BalasHapus
  3. hmm...ingat si Budi kecilnya bang Iwan yang kuyup menggigil, menahan dingin tanpa jas hujan....hehehe

    BalasHapus

kUMPULAN OPINI

STUDI BANDING dan RANDIS untuk Fraksi
Itu ‘Hadiah’

(Oleh :Muh. Amran Anas)

Kesabaran tidak selalu bisa dianggap kebajikan, jika memberi hati kepada kelaliman.
Tak akan ada penguasa yang bisa bertindak sewenang-wenang, jika tidak ada yang mau jadi budak.

(Jose Rizal)

Ada kebiasaan klasik, atau cara berfikir primitif yang masih dipertahankan oleh para pengambil kebijakan di negeri ini, terutama di daerah-daerah, dimana pihak eksekutif memberi ‘hadiah’ atau fasilitas dalam beragam bentuk kepada (yang minta diberi) legislatif untuk memenuhi saling ketergantungan diantara kedua lembaga negara tersebut. Fenomena ‘simbiose mutualisme’, dari para pengambil kebijakan ini, anehnya masih terus berlangsung hingga hari ini, dan itu terjadi seragam dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah.

Bukan mencontoh prilaku para sejawatnya di tingkatan yang lebih tinggi, tetapi politisi dan birokrat di daerah piawai memanfaatkan kondisi dimana mereka saling memahami kebutuhan diantaranya, tanpa mempertimbangkan posisi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang lagi ‘carut marut ‘diderah keterpurukan.

Pengadaan Randis untuk fraksi pun tak segan-segan disinggung dalam pembahasan APBD-P, iseng-iseng ber-’Hadiah’. Atau yang sedikit terselubung adalah bagi-bagi jatah proyek untuk masing-masing anggota dewan, yang penting APBD aman. Dan yang paling digandrungi adalah ‘rekreasi bareng-bareng’ dengan model boros ‘studi banding’, tak ubahnya burung bangau dipagi hari berangkat bergerombol, mencari makan, kemudian ketika senja, balik lagi secara bergerombol ke sarangnya. Kebiasaan seperti ini dilaksanakan segera setelah rampung membahas APBD atau APBD-P. Maka PERDA pun menjadi tiket yang pas untuk segera ‘terbang’ meninggalkan daerah asalnya.

Cara berfikir primitif seperti ini yang seharusnya sudah ditinggalkan, namun ini malah menjadi kebutuhan praktis dan rekreatif yang bersiklus bagi para politisi ’kampung’ di daerah untuk menggerogoti dana rakyat. Lembaga legislatif di daerah mengalami disorientasi fungsi dan perannya. Akhirnya fungsi control lebih dominan dilaksanakan oleh kelembagaan masyarakat lainnya.

Kendati baru saja DPRD dan Pemerintah secara bersama-ssama membahas Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P), yang parameter pendekatannya adalah Peraturan Pemerintah 105 Tahun 2000, Pasal 8, yaitu APBD disusun dengan pendekatan anggaran berbasis kinerja, tapi ternyata itu toh hanya lips servis saja. Di penghujung pembahasan mereka tetap melakukan kegiatan yang ‘kolaborate’, untuk memenuhi kebutuhan hedonisnya. Efisiensi anggaran dan efektifitas suatu kegiatan sudah tidak lagi menjadi alat untuk menakar sebuah kebijakan. Substansi pembangunan pro rakyat menjadi sumir.

Satu alasan mungkin untuk tetap menjaga bahwa APBD bak ‘Kitab Suci’ yang ‘tabuh’ untuk “diacak-acak” oleh masyarakat, adalah dengan cara mempertahankan gaya berfikir primitif itu. Sehingga didalam proses-proses pembahasannya bisa melahirkan diel-diel yang hanya mereka yang tahu, dan sesungguhnya itu adalah bentuk perselingkuhan sejati, maaf antara eksekutif dan legislatif.
Praktek picik seperti ini sebenarnya cukup lama di’pertonton’kan oleh rezim refresif terdahulu, rezim orde baru yang senantiasa mengkooptasi demokrasi dengan menabuhkan azas keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi. Rakyat ter-subordinasi menjadi kelas sekian dari sebuah system negara. Dan untuk mengelabui bahwa kini system itu sudah berubah adalah ramai-ramai para politisi itu mengklaim bahwa yang diperjuangkan adalah aspirasi dan kepentingan publik. Benarkah demikian?. Yang sering terjadi adalah para elite politisi itu mengatasnamakan publik demi kepentingannya sendiri, atau kepentingan kelompoknya. Jadi ini bagai dua sisi dari satu mata uang antara model orde baru dengan model pemikiran politisi sekarang, yang sulit dipisahkan dan ternyata masih primitif.

Bayangkan ‘studi banding’ yang idealnya bisa dilaksanakan oleh cukup tiga atau empat orang saja anggota dewan, plus beberapa orang dari sekretariat, tapi justeru itu dilaksanakan oleh separuh dari jumlah anggota dewan, dengan berbagai alasan seperti melengkapi data untuk kebutuhan pembuatan sebuah Perda. Padahal berbagai fasilitas bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan tersebut, biayanya lebih murah tidak perlu studi banding, ada internet dan mudah diakses, bisa dengan menggunakan jasa professional.

Alasan Konstitusi

Seandainya konstitusi kita tidak mengatur secara tegas keberadaan DPRD di tingkat Kabupaten/Kota (UU tentang SUSDUK MPR,DPR, DPD, dan DPRD, juga UU Nomor 32, Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah), maka jauh lebih efisien dan efektif jika DPRD di tingkat Kabupaten/Kota dihapus saja, ini saran, kenapa ? karena terbukti bahwa secara kelembagaan DPRD di tingkat Kabupaten/Kota fungsi pengawasannya tidak nampak, malah dibeberapa daerah Kabupaten Kota terbukti, maaf yang terjerat kasus Korupsi penyalahgunaan APBD, adalah anggota DPRD, pertanyaan kemudian adalah ‘siapa yang mengawasi siapa’?

Jadi sesungguhnya keberadaan lembaga DPRD di tingkat Kabupaten/Kota, itu hanya menjadi pembeban APBD, sekaligus menjadi pasangan ‘selingkuh’ eksekutif. Miliaran rupiah setiap tahunnya dana masyarakat itu dialokasikan untuk kesejahteraan anggota DPRD. Anggaran untuk perjalanan dinas saja, bisa mencapai miliaran rupiah, dan ini menjadi lahan empuk untuk dikorup.

Terkuaknya demikian banyak kasus korupsi APBD yang melibatkan anggota DPRD ini, kian menegaskan citra wakil rakyat yang sibuk dengan kepentingan dengan kesejahteraan mereka sendiri. Di mata publik, para wakil rakyat saat ini hanya memerhatikan kepentingan individu, kelompok atau partainya ketimbang memikirkan kepentingan rakyat (Kompas; Jajak Pendapat “Kompas”, 16 Oktober 2006)

Merunut pada fungsi legislasi juga menjadi tanda tanya besar (?),fungsi legislasi dari legislative di daerah-daerah itu lebih cenderung menyetujui dan mengedepankan pembuatan Peraturan Daerah yang berorientasi pada peningkatan pendapatan, kesannya kejar target, ketimbang membuat sebuah kebijakan yang lebih mengedapankan azas partipasi, transparansi, akuntabilitas. Peraturan daerah dibuat tanpa didahului dengan naskah akademik tentang dasar filosofis, realitas sosiologis masyarakat, dan yuridis, sehingga hanya melahirkan kontroversi di masyarakat, ujung-ujungnya Perda tidak dapat diterapkan, Perda ditinjau kembali, dibahas ulang, maka dilakukanlah kunjungan kerja di daerah lain yang sedang mengimplementasikan Perda yang sama. Persoalan seperti ini sering terjadi.

Perlu ditinjau ulang?

Kita tidak sedang mencari siapa kambing hitam yang semestinya bertanggung jawab dari fenomena-fenomena yang tergambar tadi. Yang pasti bahwa konstitusi memang perlu ditinjau ulang. Sangat beralasan, karena beberapa paket UU Politik tengah dibahas, juga tentang penghapusan KPU di daerah, sudah mengemuka. Nah, bukan tidak mungkin kalau saran tentang penghapusan DPRD ditingkat Kabupaten/Kota juga semestinya menjadi catatan kaki untuk kemudian dibahas di parlemen kita, tentunya dengan berbagai pertimbangan. Tentang bagaimana rumusannya kita serahkan pada para politisi di senayan.

(Devisi Advokasi & Investigasi Lekmas Luwu Raya)

OPINIKU

Prilaku ‘Demokrasi’ Ke-Luwu-an ,yang hilang?

Oleh : MUH. AMRAN ANNAS


Persyaratan utama bagi Kekuasaan yang jahat untuk berkuasa, hanyalah bahwa orang-orang baik tak melakukan apa-apa
(Sir Edmund Burke)

Harian Palopo Pos (18/10/2006) memuat artikel saya dalam kolom Opini ’Studi Banding dan Randis untuk fraksi, Itu ‘Hadiah’. Muncul sejumlah tanggapan dari berbagai kerabat saya, baik tertulis dengan modal SMS, maupun dengan ucapan langsung.
Ada tanggapan yang mengatakan bahwa tulisan anda (menunjuk saya), itu apatis, terhadap prilaku dan kebiasaan anggota DPRD khususnya di daerah kabupaten/kota, menurutnya seperti dalam syair lagu Bimbo yang menyebut “bertelinga tapi tak mendengar”. Ada kawan saya dari Luwu Timur dalam SMSnya tertulis ‘studi banding dan Randis adalah jawaban eksekutif atas pandangan akhir fraksi’, itu dalam pembahasan APBD-P. Di Luwu Utara, juga ada tanggapan yang dengan sedikit sinis menyarankan ‘lebih baik buat PERDA tentang Studi Banding, supaya bisa pergi studi banding lagi’.

Kesannya memang satir, namun apa yang bisa kita tangkap dari pernyataan-pernyataan ini, bahwa ‘sifat’ atau ‘prilaku’ pun menjadi hal yang semestinya dilembagakan, maksudnya diatur sedemikian rupa dalam sebuah konteks aturan main (regulasi), agar menjadi pedoman standar untuk mengakomodir keinginan-keinginan, sehingga terkesan sah dalam kajian hukum positif.

Yang khusus mengomentari tentang APBD yang bak ‘Kitab Suci’ dan tidak boleh di-‘acak-acak’ oleh masyarakat, adalah dari kelompok kajian yang membedah APBD dan mencoba memosisikan masyarakat pada posisi sebagai pemilik kepentingan (stake holders) kunci dari APBD itu sendiri. Setelah membedah APBD 2005, 2006, plus APBD-Perubahan, dari salah satu Pemerintahan di Tana Luwu ini, dengan berbagai rujukannya dan pedoman pembuatan APBD, mereka tidak menemukan satu pun alasan yang mengatakan APBD itu Kitab ‘Sakral’, atau tidak boleh diketahui oleh masyarakat, apalagi kalau mau dikoreksi, katanya itu tidak ada. Jadi menurut kelompok tersebut bahwa menyembunyikan APBD dari kepentingan korektif masyarakat sama dengan memisahkan ‘Kitab Suci’ dengan Tafsirnya, dan menurutnya sifat seperti itu hanya dimiliki oleh “FIRAUN” di zaman ‘primitif’. Sayangnya kelompok kajian yang membedah APBD ini tidak mempresentasikan hasil kajiannya lewat media, atau nanti ?.

Dari Belopa Ibukota Kabupaten Luwu, ada juga kerabat yang sepakat dengan saran tentang penghapusan DPRD di Kabupaten/Kota, karena menurutnya, sudah banyak lembaga masyarakat yang ‘lebih kapabel’ melakukan pengawasan, ketimbang DPRD. Mengenai fungsi budgeting dan fungsi legislasi itu kan diserahkan atau dikoordinasikan saja ketingkat propinsi, katanya. Bahwa sekali lagi, cukup banyak suprastruktur di masyarakat yang bisa melakukan fungsi tersebut. Dengan sedikit mengurai kelembagaan yang selama ini dianggap efektif melakukan pengawasan atau kontrol, katanya ada Bawasda di masing-masing tingkatan pemerintahan, juga lembaga-lembaga masyarakat lainnya seperti LPMK di Kelurahan, atau BPD di desa, bahkan seperti Ornop, Ormas dan atau organisasi kepemudaan seperti KNPI dengan sejumlah OKP didalamnya, itu saja menurutnya sudah cukup, yang penting tinggal bagaimana mengoptimalkan fungsi dari masing-masing kelembagaan itu. Karena kalau DPRD juga ada di tingkat Kabupaten/Kota, jadinya ‘siapa yang mengawasi siapa’, dan betapa beratnya beban daerah menanggung “pembiayaan” nya.

Nalar Kreatif Masyarakat

Prihatin, sinis, dongkol, bahkan terkesan apolitis atau apapun namanya dan maksudnya, saya tidak ingin meng-konfrontasi sejumlah tanggapan tadi dengan apa yang merasa dikerjakan oleh politisi kita, atau apa yang telah dianggap berhasil dipraktekkan oleh para pengambil kebijakan di negeri ini. Karena itu adalah nalar kreatif masyarakat dalam ranah demokrasi yang mencoba mengoreksi kinerja para ”Punggawa” yang merasa menentukan nasib rakyatnya.

Entah kemudian tanggapan ini memotivasi terjadinya perubahan karakter kearah yang lebih menguntungkan para “Punggawa” atau sebaliknya, akan tetapi ini adalah bentuk kreatifitas berpikir dari masyarakat yang bukan tanpa alasan dan patut diapresiasi. Lagi pula mereka tidak sedang ‘memojokkan’ posisi kelembagaan legislative, yang kursi-kursinya diisi para “Punggawa” dimana telah mendapat legitimasi dari proses politik pada Pemilu lalu. Tapi ini lebih pada bagaimana efektifitas kinerja dan efisiensi anggaran untuk pembangunan di daerah itu dikedepankan.
Saat pemilihan umum berjalan banyak yang percaya kalau rakyat sudah ‘matang, arif dan cerdas’ dalam berdemokrasi. Pujian itu diberikan karena dengan ringan banyak orang yang memberikan pilihan tanpa ada rasa takut dan cemas, kemudian orang-orang yang akan dipilih menawarkan sejumlah espektasi, bahwa mereka akan segera melakukan perubahan, bahwa mereka akan menyejahterakan rakyat, bahwa mereka berkomitmen menegakkan pemerintahan yang bersih, bahwa mereka akan melawan prilaku KKN, pokoknya mereka akan melakukan apa saja untuk kepentingan rakyat. Lalu kemudian rakyat begitu dewasa dalam menentukan pilihannya, dan hasil konkrit yang didapat adalah duduknya sejumlah anggota dewan yang memulai kerja dengan saling berebut posisi.
Kemudian anggota dewan hasil pilihan rakyat ini menunjukkan watak yang sesungguhnya, yakni membajak kedaulatan untuk kepentingan pribadi yang bertolak belakang dengan kepentingan rakyat, bahkan mencoreng proses demokratisasi yang sedang dibangun. Disini demokrasi dirasa tambah menjauh dari rakyat dan kemudian jadi kendaraan untuk merangkum sejumlah kepentingan. Dan ternyata memang demokrasi yang dipuja-puja itu kurang memberikan pilihan orang-orang yang berkualitas. Lebih mirip dengan kemasan makanan yang begitu manis di pembungkus tapi masam di rasa.(Eko Prasetyo, Demokrasi tidak untuk rakyat, 2005).

Terdegradasinya nilai-nilai moral

Karenanya, ini hanyalah bentuk keprihatinan yang fasih disampaikan oleh masyarakat atas terdegradasinya nilai-nilai moral yang pernah dijunjung tinggi di Tana Luwu ini, dengan kredo ‘demokrasi’ Ke-Luwu-an yang berbunyi “ Aja muala Gau, Gau tenri po biasangnge” , yang kurang lebih berarti “Jangan membuat keputusan yang tidak sesuai dengan asas kepatutan dan kebiasaan di masyarakat”, sesungguhnya kredo ini dipesankan kepada ‘pemimpin’ untuk selalu berbuat jujur, sebagai bagian dari cerminan ‘good governance’, tapi sayang prilaku ini mulai perlahan-lahan ditinggalkan dan menghilang ditengah-tengah kita.
Lalu bagaimana meminimalisir prilaku konservatif yang sering dipraktekkan oleh para “punggawa”, atau politisi kita yang duduk di parlemen dan atau yang duduk di kursi empuk eksekutif? Ini adalah sebuah proses panjang untuk menaklukkan Ego’ kekuasaan. Lagi-lagi terpulang kepada Political will para pembuat keputusan untuk mendekonstruksi berbagai kebijakan yang me-negasi-kan posisi rakyat. Juga kepada para aktivis pemuda, mahasiswa dan para pendamping masyarakat untuk selalu gigih melakukan pemantauan terhadap program pembagunan di daerah.

Namun, tak kalah penting pula bahwa bagaimana rakyat juga mengintegrasikan diri kedalam ‘sebuah gerakan yang terkonsolidasi’, untuk melakukan kontrol yang memiliki daya tekan dan daya guna yang tinggi. Tulisan ini tidak bermaksud mem’provokasi’ ketakberdayaan rakyat dalam bayang-bayang demokrasi, untuk didekatkan pada arena perjuangan yang lebih nyata. Akan tetapi ini adalah energi yang coba dieksplor untuk memberi tekanan besar agar bagaimana demokrasi tak boleh berhenti pada pengertian defenitif saja, melainkan adalah konsep yang dipertarungkan dalam realitas.
Sekian. Wassalam.

(Divisi Advokasi dan Investigasi Lekmas Luwu Raya)